Minggu, 14 Agustus 2011
Hati hatilah mereka yang berpuasa religius, karena “Boleh jadi orang yang berpuasa itu tidak mendapatkan apapun, kecuali hanya kelaparan”.
(Ibn Maajah, 1/539; Saheeh al-Targheeb, 1/453).
(Ibn Maajah, 1/539; Saheeh al-Targheeb, 1/453).
Dalam pengertian sehari-hari – atau dalam definisi Kamus Umum Bahasa Indonesia – puasa diartikan sebagai “tidak makan dan tidak minum dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”. Puasa di bulan Ramadhan kini bukan hanya menjadi bagian dari ibadah Islam, melainkan juga mulai menjadi fashion kultural. Berpuasa diwajibkan kepada Muslim seperti yang tertulis dalam Sura Al-Baqarah: 183,“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan ke atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan ke atas umat-umat yang sebelum kamu, semoga kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa.”
Banyak Muslim hanya membaca “wahyu” ini sebagai ayat-kewajiban, otomatis menerimanya sebagai hal yang diwajibkan, namun tidak mempersoalkan ayatnya dari segi kebenaran, atau siapa yang sesungguhnya telah mewajibkannya. Muslim telah amat alpa mempertanyakan diri apakah benar ayat ini mengklaim Firman-Nya seolah-olah Tuhan sendiri juga sudah mewajibkanpuasa yang sama kepada umat-umat Yahudi dan Nasrani?! Secara kasat mata, klaim ini jauh dari benar! “Wahyu” ini disesalkan karena menyeret-nyeret orang pihak ketiga masuk kedalam bentuk puasa yang tidak dikenalnya, sebab semua orang tahu bahwa puasa Islamik dan Kristiani justru berbeda seperti bumi terhadap langit! Muhammad telah memproklamirkan suatu “wahyu” yang jauh dari akurat!
Pertama, umat Kristiani tidak pernah diwajibkan berpuasa seperti yang Muhammad kenakan kepada Muslim pengikutnya. Tidak ada puasa-wajib yang jikalau dilaksanakan dengan ritual baku itu dan ini akan mendapat pahala berlimpah, dan jikalau melalaikannya akan kena laknat dosa. Puasa melainkan adalah praktek yang baik – yang Tuhan berkenan atasnya, untuk mencari wajah dan welas asih Tuhan dan agar berelasi lebih khusus dengan Penciptanya.
Kedua, apa yang disebut puasa dalam Islam sesungguhnya (pada hakekatnya) bukan puasa sama sekali, melainkan PEMINDAHAN JAM MAKAN! Muslim yang berpuasa bukan kelaparan karena tidak makan, melainkan menggeser jam makan-minumnya dari pagi-petang menjadi petang-subuh! Kualitas dan kuantitas makannya Muslim yang berpuasa juga tidak terpengaruh samasekali. Porsi seksnya juga tidak ditiadakan, melainkan hanya diatur “carry-over” kepada jam-jam yang berbeda dari biasanya! Malahan kalau mau jujur, kualitas dan kuantitas makan-minum diwaktu puasa malahan jauh dipertinggi dan diperpuaskan melebihi waktu-waktu selainnya. Seorang Muslim yang berkata “Saya berpuasa 30 hari penuh” akan ditangkap oleh orang-orang awam non-Muslim, khususnya Kristen, sebagai berpuasa 30 hari 30 malam tanpa makan minum sedikitpun (total abstinence)! Padahal ia hanya berpuasa 30 pagi-petang dan berbuka puasa 30 malam berturut-turut! Makannya tidak melarut hilang ditelan waktu, melainkan dibelanjakan ke jeda yang lain.
Ketiga, puasa Islamik pada prinsipnya lebih menonjolkan aktifitas lahiriah, disebut sebagaiibadah jasadiyyah, yaitu aktifitas berkorban dengan cara meninggalkan, membatasi, dan menjauhi nafsu kedagingan (khususnya perut dan kemaluan) dengan harapan khusus mendapat ridho dan pahala dari Allah SWT. Berpuasa dianggap beban perjuangan dan pengorbanan yang berat, sementara berbuka puasa dianggap sebuah kemenangan atas perjuangan tersebut. Semuanya bersifat fisikal. Yaitu menang “melawan shaytan dan nafsu insani”, padahal makanan dan minuman tentu bukan shaytan, sementara nafsu (yang sehat dan legal) juga tidak harus dilawan sebagai musuh! Dan orang yang menang itu adalah orang yang bertaqwa dan kepadanya tersedia pahala-pahala.
Ini tentu sangat berbeda dengan puasa-Kristiani yang pada dasarnya berakar dari “suasana perkabungan”, jeritan atau keprihatinan yang sangat serius, sehingga harus mencari tangan dan wajah Tuhan dalam kerendahan hati yang extra dalam
0 Comments:
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)